Pelayaran yang Menggemparkan Kawasan
Angkatan Laut Amerika Serikat kembali menciptakan sorotan global. Pada 23 April 2025, kapal perusak berpemandu rudal USS William P. Lawrence melintasi Selat Taiwan. Langkah ini langsung memicu respons tajam dari Beijing. Meski pihak AS menyebut pelayaran ini sebagai operasi rutin untuk mendukung kebebasan navigasi, banyak pihak melihatnya sebagai sinyal strategis terhadap Tiongkok.
Alih-alih memilih jalur yang lebih aman, Washington justru mempertegas komitmennya terhadap prinsip internasional. Dalam pernyataannya, Komando Indo-Pasifik AS menegaskan bahwa kapal mereka “berlayar melalui wilayah laut internasional,” sekaligus menekankan bahwa pihaknya “akan terus terlibat di mana pun hukum internasional mengizinkan.”

Tiongkok Bereaksi Keras
Tak butuh waktu lama bagi militer Tiongkok untuk menanggapi. Komando Teater Timur Tentara Pembebasan Rakyat segera mengerahkan jet tempur dan kapal perang. Mereka mengikuti pelayaran USS William P. Lawrence secara dekat. Bahkan, militer Tiongkok mengklaim telah “memperingatkan kapal AS untuk menjauh” dan menyebut tindakan Washington sebagai bentuk provokasi.
Tiongkok memandang Selat Taiwan sebagai bagian dari wilayah yang sensitif. Oleh sebab itu, kehadiran militer asing dianggap sebagai pelanggaran terhadap stabilitas kawasan. Beijing berkali-kali menuding Washington sebagai aktor utama yang memperkeruh situasi, bukan hanya di Taiwan, tetapi juga di Laut Cina Selatan dan sekitarnya.
Taiwan Tetap Siaga
Sementara itu, Taiwan bergerak cepat. Kementerian Pertahanannya melaporkan bahwa dalam kurun waktu 24 jam sebelum pelayaran, mereka mendeteksi 19 pesawat tempur dan tujuh kapal perang Tiongkok di sekitar wilayahnya. Angkatan Bersenjata Taiwan segera menyiapkan sistem pertahanan udara serta memperketat patroli laut.
Taipei tidak tinggal diam. Mereka mengirim pernyataan tegas bahwa setiap ancaman terhadap kedaulatan pulau akan direspons dengan cepat. Taiwan pun menyambut pelayaran kapal perang AS sebagai simbol dukungan strategis, meskipun mereka juga menyadari risiko eskalasi yang bisa menyertainya.
Faktor Strategis Selat Taiwan
Selat Taiwan memainkan peran vital dalam percaturan geopolitik global. Selat ini menjadi jalur utama perdagangan internasional, tempat lalu lintas kapal-kapal dagang yang mengangkut barang dan energi bernilai miliaran dolar setiap harinya. Oleh karena itu, setiap gangguan sekecil apa pun bisa berdampak luas terhadap stabilitas pasar global.
Amerika Serikat memanfaatkan fakta tersebut sebagai pembenaran. Dengan menempatkan kapal perangnya di jalur-jalur strategis, AS mengirimkan pesan bahwa mereka tidak akan membiarkan kekuatan regional memonopoli wilayah-wilayah penting. Sebaliknya, Tiongkok menganggap tindakan ini sebagai langkah intimidatif yang bertujuan menghalangi ambisi reunifikasinya terhadap Taiwan.
Kerja Sama Militer AS dan Sekutu
Bersamaan dengan pelayaran tersebut, AS juga sedang menjalankan latihan militer besar bersama Filipina, yaitu Exercise Balikatan. Dalam latihan ini, AS mengerahkan ratusan marinir, sistem rudal anti-kapal, serta simulasi pertahanan pulau. Latihan ini jelas memperkuat kehadiran militer AS di Asia Tenggara.
Keikutsertaan AS dalam latihan tersebut memperlihatkan bahwa mereka tidak hanya bergantung pada kehadiran kapal, tetapi juga membangun jaringan militer regional yang solid. Hal ini mencerminkan strategi jangka panjang Washington dalam mengimbangi pengaruh Tiongkok.
Bahaya Eskalasi Selalu Mengintai
Meski pihak-pihak terkait menyebut misi ini sebagai hal rutin, potensi salah paham tetap terbuka lebar. Kontak terlalu dekat antara militer dua negara besar bisa menimbulkan konflik tidak disengaja. Ketegangan yang terus meningkat juga berpotensi memaksa negara-negara kecil di kawasan untuk memilih pihak.
Dalam kondisi seperti ini, diplomasi tidak boleh dikesampingkan. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan ASEAN harus berperan aktif dalam mendorong dialog yang jujur antara Washington dan Beijing. Hanya melalui komunikasi yang terbuka, kawasan ini bisa menghindari konflik bersenjata yang merugikan semua pihak.
Kalkulasi Politik di Balik Pelayaran
Tentu, pelayaran ini tidak hanya berkaitan dengan aspek militer. Politik domestik di kedua negara juga turut memengaruhi. Washington ingin menunjukkan bahwa mereka tetap kuat di bawah tekanan global. Sebaliknya, Beijing tidak mau terlihat lemah di mata publiknya sendiri. Maka, setiap gerakan kapal pun menjadi bagian dari pertarungan persepsi yang sengit.
Media lokal dan internasional terus memantau dinamika ini. Analis politik memperkirakan bahwa selama ketegangan AS–Tiongkok belum mereda, pelayaran semacam ini akan terus terjadi secara berkala. Bahkan, beberapa memperkirakan peningkatan jumlah kapal dan intensitas operasi dalam beberapa bulan mendatang.
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Keseimbangan
Kehadiran USS William P. Lawrence di Selat Taiwan bukan sekadar peristiwa militer. Pergerakan itu menyampaikan pesan kuat: Amerika Serikat tidak akan mundur dari panggung Indo-Pasifik. Namun di saat yang sama, tindakan ini mengundang risiko nyata jika tidak disertai pendekatan diplomatik yang hati-hati.
Di tengah kepentingan geopolitik yang saling tumpang tindih, negara-negara di kawasan perlu memainkan peran penyeimbang. Dengan mendorong dialog, membangun saling percaya, dan mengedepankan kerja sama, mereka bisa mencegah konflik sekaligus menjaga arus perdagangan dunia tetap aman.
Pada akhirnya, siapa pun yang menguasai Selat Taiwan, mengendalikan denyut nadi Asia. Dan untuk saat ini, denyut itu berdetak semakin cepat—didorong kapal, rudal, dan keputusan politik dari dua kekuatan terbesar dunia.
