Thailand kembali mengobarkan bara panas di kawasan perbatasannya dengan Kamboja. Pada akhir pekan lalu, militer Thailand mengklaim berhasil menewaskan seorang jenderal tinggi dari militer Kamboja dalam bentrokan bersenjata yang berlangsung cepat namun brutal. Kejadian ini segera memicu gelombang protes keras dari Phnom Penh dan memperparah tensi geopolitik di kawasan Asia Tenggara yang sebelumnya mulai mereda.
Kronologi Singkat Peristiwa
Bentrok bersenjata terjadi di wilayah sengketa dekat Provinsi Sisaket yang berbatasan langsung dengan Provinsi Preah Vihear di Kamboja. Menurut keterangan dari juru bicara militer Thailand, kelompok bersenjata yang diduga berasal dari militer Kamboja melanggar batas wilayah dan mendirikan pos tak resmi. Thailand merespons cepat dengan pengerahan satuan elit dari angkatan darat dan berhasil menghancurkan pos tersebut.
Pernyataan Tegas dari Bangkok
Pemerintah Thailand tidak memilih kata-kata lunak saat menyampaikan kabar tersebut kepada publik. Thailand juga mengklaim bahwa mereka telah memberi tiga kali peringatan melalui radio militer, namun tidak satu pun mendapat respons dari pasukan Kamboja. “Kami bertindak cepat, presisi, dan sah secara hukum internasional. Kami tidak memulai, tapi kami menyelesaikan ancaman,” tambah Kolonel Thanit.
Respons Keras dari Phnom Penh
Tak berselang lama, Kamboja melancarkan protes diplomatik secara resmi. Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Kamboja, Hor Namhong, pemerintahnya menuduh Thailand bertindak agresif dan tidak berperikemanusiaan. Kamboja bahkan menyebut insiden ini sebagai pembunuhan terencana terhadap tokoh nasional.
“Kematian Jenderal Chan Dara merupakan pukulan telak bagi kehormatan militer kami. Ia bukan penyerang. Ia pembela tanah air,” tegas Hor Namhong. Pihak Kamboja menuntut investigasi internasional dan menyatakan bahwa mereka tidak akan tinggal diam jika Thailand terus memprovokasi.
Reaksi Dunia Internasional
Komunitas internasional segera menyoroti insiden ini. ASEAN menyerukan ketenangan dan menekankan pentingnya dialog damai antar kedua negara anggota. Sementara itu, Amerika Serikat dan Tiongkok, dua kekuatan besar yang punya kepentingan strategis di kawasan, juga menyerukan deeskalasi.
Namun, sejumlah analis meyakini bahwa konflik kecil ini bisa menjadi pemantik perang skala besar jika tidak segera dikendalikan. Beberapa pihak bahkan menyarankan PBB untuk segera turun tangan dan mengirim tim pemantau ke wilayah sengketa.
Jejak Perseteruan yang Panjang
Perseteruan antara Thailand dan Kamboja bukan barang baru. Konflik mengenai garis batas, terutama di sekitar Candi Preah Vihear, telah berulang kali menimbulkan ketegangan militer sejak awal 2000-an. Meskipun Mahkamah Internasional pernah menyatakan bahwa wilayah tersebut berada dalam teritori Kamboja, Thailand kerap menganggap klaim itu tidak adil.
Dalam beberapa tahun terakhir, bentrokan bersenjata di wilayah perbatasan terjadi sporadis, namun sebagian besar berakhir cepat melalui mediasi regional. Namun kali ini, dengan tewasnya seorang jenderal tinggi, situasinya jauh lebih sensitif dan berpotensi melebar.
Isu Nasionalisme Jadi Pemicu
Pakar hubungan internasional dari Universitas Chulalongkorn, Dr. Kitti Prasertkul, menjelaskan bahwa kedua negara kini menghadapi tekanan dari dalam negeri yang cukup besar. Pemerintah Thailand tengah menghadapi gelombang ketidakpuasan akibat inflasi dan protes terhadap reformasi militer. Di sisi lain, Kamboja mengalami tekanan publik akibat korupsi dan krisis kepercayaan terhadap elit politik.
“Ketika dalam tekanan, pemerintah sering mencari cara untuk membangun narasi nasionalisme. Insiden seperti ini bisa dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian,” ujar Kitti.
Warga Sipil Jadi Korban Ketegangan
Di tengah konflik militer dan pernyataan panas antar elite politik, masyarakat sipil menjadi pihak yang paling menderita. Ratusan warga dari desa-desa perbatasan di kedua negara mulai mengungsi demi menghindari potensi konflik susulan. Sekolah-sekolah di wilayah sengketa telah ditutup. Aktivitas ekonomi pun lumpuh karena transportasi darat terganggu.
Organisasi kemanusiaan lokal bahkan melaporkan adanya korban luka dari kalangan petani yang tidak sempat menghindar saat baku tembak terjadi. Mereka kini meminta bantuan logistik dan perlindungan hukum dari pemerintah masing-masing.
Menanti Jalan Damai
Kedua negara saat ini tengah dihadapkan pada dilema besar: mempertahankan harga diri nasional atau menghindari pertumpahan darah lebih lanjut. ASEAN dijadwalkan akan menggelar pertemuan darurat pekan depan untuk membahas jalan tengah dan potensi gencatan senjata.
Baca Juga: Rusia Mengganas, Negara NATO Kerahkan Jet Tempur F-35

